OPINIMUSIK.COM – Akhir-akhir ini musik folk sedang banyak disukai. Tapi, tahu gak sih apa sebenarnya musik folk? ini dia penjelasannya.

Selain musik pop, ternyata ada jenis musik lainnya yang juga sedang naik daun di Indonesia. Musik itu adalah musik folk. musik folk kini makin digemari oleh kawula muda Indonesia. Buktinya, saat ini ada beberapa nama kelompok musik yang memainkan genre musik folk, misalnya Tigapagi, Silampukau, Stars and Rabbit, Ain Nasriko, Float, Dialog Dini Hari dan masih banyak lagi lainnya.
Musik Folk berbeda dengan world music. World music memiliki aturan (kode etik) tertentu dalam memainkannya, kebanyakan aturan tersebut bersifat sakral. Musik folk tidak seperti itu. Folk tidak terikat dan bebas dalam mengekspresikan corak musik, tidak jarang juga musisi-musisi folk menggabungkan beberapa musik etnik yang berbeda dalam satu lagu.
Bagaimanapun juga, musik folk tercipta dari corak world music yang dimainkan sehari-hari untuk menghibur diri, membuang rasa jenuh dan kebosanan dengan alat musik seadanya.
Musik folk bisa diartikan sebagai dua kesatuan musik yang berbeda. Musik folk bisa diartikan sebagai musik tradisional/musik kerakyatan yang tersebar di setiap negara. Musik folk juga bisa diartikan sebagai genre musik yang muncul di pertengahan abad ke-20, atau lebih dikenal dengan nama The (Second) Folk Revival atau Contemporary Folk Music yang mencapai puncaknya di era 60-an.
Genre inilah yang saat ini kita sebut sebagai folk. Jenis musik folk yang satu ini akhirnya memunculkan genre fusion baru, beberapa diantaranya adalah folk metal, folk pop, folk rock, electric folk, dan sebagainya.
Figur paling terkenal dalam contemporary folk music adalah Woody Guthrie. Dia adalah pionir dari contemporary folk music. Dia memulai merekam lagunya pada era 40-an, setelah tiba di New York.
Ciri khas paling ikonis dari Woody Guthrie adalah tulisan “This Machine Kills Fascist” pada gitarnya. Banyak penulis lagu atau penyanyi yang merasa mendapat pengaruh besar dari Woody Guthrie, seperti Bob Dylan, Pete Seeger, Bruce Springsteen, dan Joe Strummer.
Contemporary folk music mencapai puncaknya di era 60-an, saat Bob Dylan dan Joan Baez mendapat kesuksesan komersilnya. Tema yang sering dipakai dalam musik folk di era ini (60-an) adalah politik dan anti-perang.
Sementara itu, di Indonesia, musik folk ini juga tersebar pada tahun 60-an. Menurut Almarhum Denny Sakrie, pelopor dari musik folk di Indonesia adalah Gordon Tobing. Dalam karir bermusiknya, Gordon Tobing menyanyikan hampir seluruh lagu-lagu rakyat Indonesia.
Dirinya sering dikirim keluar negeri dalam rangka misi kebudayaan Indonesia untuk seni musik. Gordon Tobing pernah dipilih oleh Tim Ahli Seni Australia untuk mewakili Asia pada Art Festival of Perth yang berlangsung di tahun 1969.
Tercatat, ada 3 kota besar yang menjadi basis pertumbuhan musik folk di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Di kota Jakarta ada kelompok Kwartet Bintang yang dimotori oleh Guntur Sukarnoputra, putra sulung presiden Sukarno.
Di Bandung, sejak tahun 1967 telah berkiprah Trio Bimbo hingga Remy Sylado. Sedangkan di Surabaya, sejak tahun 1969 telah terdengar nama Lemon Trees yang didukung oleh Gombloh dan Leo Imam Soekarno yang di era paruh 1970an dikenal dengan nama Leo Kristi. Beberapa di antaranya bahkan telah merilis album rekaman seperti Trio Bimbo yang merekam album lewat label Fontana di Singapura pada tahun 1971.
Memasuki era 80-an hingga 90-an, makin banyak musisi yang mengusung musik ini, seperti misalnya musisi senior Ebiet G Ade. Kebanyakan musisi folk termasuk Ebiet G Ade tampil membawakan lagu karya sendiri sambil memetik gitar akustik. Tema lirik lagunya berkisar dari tema alam dan lingkungan serta kritik sosial yang terkadang dibumbui dengan aura humor yang menggelitik.